Assalamualaikum.....

Terimakasih telah mengunjungi situs ini, semoga materi-materi yang terdapat di dalamnya dapat bermanfaat untuk kita semua....
Amin ya robbal alamin.....

Rio Cool

Rio Cool
Handsome Boy
Powered By Blogger

Minggu, 07 Februari 2010

FARMAKOTERAPI

A. Pengertian
Cabang ilmu yang berhubungan dengan penggunaan obat dalam pencegahan dan pengobatan penyakit.
Mempelajari penggunaan obat untuk mengobati penyakit atau gejalanya.

B. Definisi pengobatan yang rasional
Masalah pengobatan yang tidak rasional sudah menjadi masalah dunia. Lebih dari 50% obat diresepkan, didistribusikan atau dijual secara tidak tepat. Sementara 50% dari pasien gagal untuk menggunakan obat dengan tepat. Lebih dari 1/3 penduduk dunia kekurangan akses terhadap obat esensial.
a. Bentuk-bentuk pengobatan yang tidak rasional adalah :
1. Penggunaan terlalu banyak obat setiap pasien (polifarmasi)
2. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat, seringkali dosis yang tidak tepat, penggunaan untuk infeksi yang bukan disebabkan oleh bakteri
3. Penggunaan obat injeksi/suntik yang berlebihan saat obat oral/minum lebih tepat
4. Ketidaksesuaian peresepan dengan panduan klinis yang berlaku
5. Pengobatan sendiri yang tidak tepat, seringkali dengan obat yang seharusnya hanya bisa dibeli dengan resep
Penggunaan obat yang tidak tepat dan berlebihan akan menghabiskan obat dan biaya dan mengakibatkan peningkatan efek samping obat dan bahaya bagi pasien
Penggunaan antibiotik yang berlebihan meningkatkan resistensi antibiotik. Penggunaan obat suntik/injeksi yang tidak steril akan menyebarkan infeksi yang diperantarai darah seperti hepatitis, HIV/AIDS dan penyakit lainnya. Akhirnya pengobatan yang tidak rasional dapat memicu permintaan pasien yang tidak rasional dan berakibat menurunnya kepatuhan karena obat yang habis dan hilangnya kepercayaan pasien kepada sistem kesehatan. Pada negara ketiga dimana akses dan ketersediaan obat sangat terbatas, pengobatan yang tidak rasional akan menyebabkan kelangkaan obat, sehingga disaat diperlukan obat yang dibutuhkan tidak ada yang berakibat meningkatnya angka kesakitan dan kematian.


b. Untuk itu WHO menyatakan 11 langkah intervensi untuk mempromosikan pengobatan yang rasional:
1. Badan nasional multidisiplin yang mengkoordinasikan kebijakan-kebijakan penggunaan obat
Faktor-faktor sosial dan sistem kesehatan berpengaruh terhadap penggunaan obat-obatan. Karena itu diperlukan badan multi-disiplin untuk membangun, melaksanakan dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan yang mempromosikan pengobatan yang rasional. Badan nasional ini dibutuhkan untuk mengkoordinasikan kebijakan dan strategi di tingkat nasional , pada sektor publik/umum dan swasta/privat. Badan ini sebaiknya melibatkan pemerintah (departemen kesehatan), profesi kesehatan, akademisi, industri farmasi, kelompok konsumen dan organisasi non-pemerintah yang terlibat dalam pelayanan kesehatan.
Efek pada penggunaan obat akan lebih baik jika banyak intervensi/tindakan yang dilaksanakan dalam langkah yang terkoordinasi; satu intervensi saja seringkali hanya menimbulkan sedikit efek.
2. Panduan klinis (clinical guidelines)
Panduan klinis (standar pelayanan medis, kebijakan (peresepan)) terdiri dari panduan sistematik untuk menolong dokter membuat keputusan mengenai tatalaksana yang sesuai untuk keadaan klinis yang spesifik. Panduan yang berdasar bukti (EBM) sangat penting untuk mempromosikan pengobatan yang rasional. Panduan ini memberikan diagnosis dan pengubatan yang telah teruji. Kemudian panduan EBM terbukti mempromosikan pengobatan yang rasional dengan :
a) Disusun dengan partisipasi dari pelaksana pengobatan
b) Mudah dibaca
c) Diperkenalkan dengan sosialisasi, pelatihan dan penyebaran
d) Dipertegas dengan audit resep dan umpan balik
Panduan klinis sebaiknya dibuat untuk setiap tingkat pelayanan kesehatan (dari tingkat paramedis di layanan kesehatan primer sampai dokter spesialis di rumah sakit rujukan) berdasarkan keadaan klinis yang ada dan kemampuan tenaga kesehatan.
3. Daftar obat esensial berdasarkan panduan pengobatan
Obat esensial adalah obat sesuai prioritas kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat.Penggunaan daftar obat esensial membuat manajemen pengobatan lebih mudah; permintaan, penyimpanan dan distribusi lebih mudah dengan jumlah obat yang lebih sedikit, peresepan dan distribusi obat bagi profesional juga lebih mudah jika mereka harus mengetahui lebih sedikit obat.
Obat esensial sebaiknya berdasarkan panduan klinis nasional, berdasarkan keamanan, kualitas, efektifitas, biaya. Daftar obat esensial sebaiknya secara teratur diperbaharui dan disosialisasikan melaui pelatihan dan disebarluaskan.
Dan hanya tenaga kesehatan yang diperbolehkan menggunakan obat tersebut yang mendapat distribusi obat-obatan tersebut.
4. Komite pengobatan dan obat di rumah sakit dan daerah setempat.
Disebut juga komite pengobatan dan farmasi adalah komite yang dibentuk untuk menjamin penggunaan obat yang efektif dan aman pada fasilitas dan daerah di bawah pengawasan komite tersebut. Pada negara-negara industri komite ini berhasil untuk mempromosikan pengobatan yang rasional, penggunaan obat yang sesuai dan efektif di rumah sakit. Pemerintah dapat mendorong rumah sakit memiliki komite obat dan pengobatan dengan membuat keberadaan komite ini sebagai syarat akreditasi. Komite obat dan pengobatan mewakili spesialisasi utama dan administrasi; komite harus independen dan menyatakan tidak ada konflik kepentingan dengan pihak manapun.
5. Pelatihan berdasarkan masalah dalm farmakoterapi pada kurikulum sekolah kedokteran
Kualitas dari pelatihan farmakoterapi di sekolah kedokteran dan paramedis dapat mempengaruhi secara bermakna pola peresepan nantinya. Pelatihan farmakoterapi yang rasional, dihubungkan dengan panduan klinis dan daftar obat esensial dapat membantu menciptakan pola peresepan yang baik. Pelatihan yang berdasarkan masalah, sesuai gangguan kesehatan sehari-hari disesuaikan dengan pengetahuan, perilaku dan kemampuan akan meningkatkan keberhasilannya.
6. Pendidikan medis berkelanjutan
Pendidikan berkelanjutan dengan tatap muka lebih efektif untuk merubah pola peresepan dibandingkan pendidikan berkelanjutan dengan materi tertulis tanpa tatap muka. Pendidikan berkelanjutan tidak terbatas kepada dokter dan tenaga kesehatan tetapi bisa melibatkan orang pada sektor informal seperti retailer obat.
Pendidikan berkelanjutan di negara maju merupakan persyaratan untuk ijin tenaga kesehatan, namun di negara berkembang masih terbatas dan belum menjadi prasyarat untuk ijin tenaga kesehatan.




7. Supervisi, audit dan umpan balik
Supervisi sangat penting untuk memastikan kualitas pelayanan yang baik. Supervisi yang suportif, mendidik dan tatap muka akan lebih efektif dan lebih baik diterima oleh pihak yang disupervisi daripada inspeksi mendadak dan hukuman.
Bentuk supervisi yang efektif termasuk audit dan umpan balik resep, analisis rekan sejawat dan kelompok. Audit resep terdiri dari analisis kesesuaian resep dengan standar klinis yang ditetapkan.
8. Informasi obat yang independent
Seringkali informasi mengenai obat didapat dari industri farmasi dan dapat bias. Karena itu penyediaan informasi obat yang independen dan tidak bias merupakan suatu keharusan. Pusat informasi obat dan buletin obat merupakan dua cara untuk memberikan informasi obat; dapat dikelola okeh pemerintah atau universitas atau organisasi non-pemerintah di bawah supervisi tenaga kesehatan yang terlatih. Siapapun yang mengelola buletin obat harus : independen, menggunakan kedokteran berbasis bukti (EBM) dan transparan mengenai semua rekomendasi yang dibuat.
9. Edukasi masyarakat mengenai obat
Tanpa informasi yang cukup mengenai risiko dan manfaat penggunaan obat dan cara menggunakannya maka masyarakat seringkali tidak mengetahui hasil yang diharapkan dari pengobatan dan dapat terkena efek samping. Pemerintah memiliki kewajiban untuk memastikan kualitas obat dan kualitas informasi tentang obat kepada konsumen. Hal ini membutuhkan :
a) Memastikan obat bebas dijual dengan label dan instruksi yang sesuai, akurat, dapat dibaca dan mudah dimengerti oleh awam. Informasi harus meliputi nama obat, kontra indikasi, dosis, interaksi obat, dan peringatan mengenai penggunaan atau penyimpanan yang tidak aman
b) Monitor dan regulasi iklan, yang dapat memengaruhi dokter dan awam dan dapat timbul melalui televisi, radio, koran dan internet
c) Melaksanakan edukasi kepada masyarakat yang melibatkan kultur setempat dan faktor sosial masyarakat. Edukasi mengenai penggunaan obat dapat diperkenalkan ke dalam komponen pendidikan kesehatan di sekolah atau kepada program pendidikan dewasa.
10. Menghindari insentif financial
Pemberian insentif finansial dapat mendorong pengobatan yang rasional atau tidak rasional. Contoh :Dokter yang mendapat uang dari penjualan obat dapat meresepkan obat lebih banyak dan lebih mahal daripada dokter yang tidak mendapat insentif. Karena itu sistem kesehatan harus mengatur agar dokter tidak menjual obat. Pasien lebih menyukai obat yang gratis atau ditanggung asuransi. Jika hanya obat esensial yang disediakan gratis atau diganti oleh asuransi maka pasien akan meminta dokter hanya meresepkan obat esensial. Jika obat hanya diganti jika resep sesuai dengan standar panduan klinis maka akan ada dorongan lebih kuat bagi dokter untuk meresepkan secara rasional.
11. Regulasi yang sesuai dan dilaksanakan
Jika regulasi diharapkan menghasilkan efek maka harus ditegakkan dan dilaksanakan. Badan koordinasi yang ada harus didukung secara finansial dan secara hukum dalam melaksanakan tugasnya.
Peraturan untuk penggunaan yang rasional :
a) Registrasi obat untuk memastikan hanya obat yang aman dan efektif dan kualitas baik yang tersedia di pasar; dan penarikan obat yang tidak aman
b) Membatasi peresepan obat dengan tingkat kemampuan dokter, termasuk membatasi obat-obatan tertentu hanya tersedia dengan resep dan tidak tersedia bebas.
c) Menentukan standar pendidikan untuk tenaga kesehatan dan membuat serta menekankan kode etik; perlu kerjasama dengan asosiasi profesi dan universitas.
d) Pengaturan ijin bagi dokter, suster, paramedis; untuk memastikan semua tenaga kesehatan memiliki kompetensi untuk diagnosis, peresepan dan distribusi obat.
e) Pengaturan lisensi penjual obat (toko obat, apotek)
f) Memantau dan mengatur promosi obat untuk memastikan sesuai etika dan tidak bias. Semua promosi harus dapat dipercaya, akurat, informatif, seimbang, terkini.

C. Penyalahgunaan Obat
Dalam hal penggunaan obat sehari-hari, terdapat istilah penyalahgunaan obat (drug abuse) dan pengguna salahan obat (drug misuse). Istilah penyalahgunaan obat merujuk pada keadaan di mana obat digunakan secara berlebihan tanpa tujuan medis atau indikasi tertentu. Sedangkan, istilah pengguna-salahan obat adalah merujuk pada penggunaan obat secara tidak tepat, yang biasanya disebabkan karena pengguna memang tidak tahu bagaimana penggunaan obat yang benar. Pada tulisan ini hanya akan dikaji mengenai penyalahgunaan obat (drug abuse) saja.




Penyalahgunaan obat terjadi secara luas di berbagai belahan dunia. Obat yang disalahgunakan bukan saja semacam cocain, atau heroin, namun juga obat-obat yang biasa diresepkan. Penyalahgunaan obat ini terkait erat dengan masalah toleransi, adiksi atau ketagihan, yang selanjutnya bisa berkembang menjadi ketergantungan obat (drug dependence). Pengguna umumnya sadar bahwa mereka melakukan kesalahan, namun mereka sudah tidak dapat menghindarkan diri lagi.
a. Obat-obat yang sering disalahgunakan
Ada tiga golongan obat yang paling sering disalah-gunakan, yaitu :
a. golongan analgesik opiat/narkotik, contohnya adalah codein, oxycodon, morfin
b. golongan depressan sistem saraf pusat untuk mengatasi kecemasan dan gangguan tidur, contohnya barbiturat (luminal) dan golongan benzodiazepin (diazepam/valium, klordiazepoksid, klonazepam, alprazolam, dll)
c. golongan stimulan sistem saraf pusat, contohnya dekstroamfetamin, amfetamin, dll.
Obat-obat ini bekerja pada sistem saraf, dan umumnya menyebabkan ketergantungan atau kecanduan.
Selain itu, ada pula golongan obat lain yang digunakan dengan memanfaatkan efek sampingnya, bukan berdasarkan indikasi yang resmi dituliskan. Beberapa contoh diantaranya adalah :
a Penggunaan misoprostol, suatu analog prostaglandin untuk mencegah tukak peptik/gangguan lambung, sering dipakai untuk menggugurkan kandungan karena bersifat memicu kontraksi rahim.
b Penggunaan Profilas (ketotifen), suatu anti histamin yang diindikasikan untuk profilaksis asma, sering diresepkan untuk meningkatkan nafsu makan anak-anak
Penggunaan Somadryl untuk “obat kuat” bagi wanita pekerja seks komersial untuk mendukung pekerjaannya. Obat ini berisi carisoprodol, suatu muscle relaxant, yang digunakan untuk melemaskan ketegangan otot. Laporan menarik ini datang dari Denpasar dari seorang sejawat. Menurut informasi, dokter kerap meresepkan Somadryl, dan yang menebusnya di apotek adalah “germo”nya, dan ditujukan untuk para PSK agar lebih kuat “bekerja”

Bagaimana terjadinya toleransi obat?
Pada orang-orang yang memulai penggunaan obat karena ada gangguan medis/psikis sebelumnya, penyalahgunaan obat terutama untuk obat-obat psikotropika, dapat berangkat dari terjadinya toleransi, dan akhirnya ketergantungan. Menurut konsep neurobiologi, istilah ketergantungan (dependence) lebih mengacu kepada ketergantungan fisik, sedangkan untuk ketergantungan secara psikis istilahnya adalah ketagihan (addiction). Pada bagian ini akan dipaparkan secara singkat tentang toleransi obat.
b. Toleransi obat dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu :
a. Toleransi farmakokinetik.
b. Toleransi farmakodinamik.
c. Toleransi yang dipelajari (learned tolerance).
Toleransi farmakokinetika adalah perubahan distribusi atau metabolisme suatu obat setelah pemberian berulang, yang membuat dosis obat yang diberikan menghasilkan kadar dalam darah yang semakin berkurang dibandingkan dengan dosis yang sama pada pemberian pertama kali. Mekanisme yang paling umum adalah peningkatan kecepatan metabolisme obat tersebut. Contohnya adalah obat golongan barbiturat. Ia menstimulasi produksi enzim sitokrom P450 yang memetabolisir obat, sehingga metabolisme/degradasinya sendiri ditingkatkan. Karenanya, seseorang akan membutuhkan dosis obat yang semakin meningkat untuk mendapatkan kadar obat yang sama dalam darah atau efek terapetik yang sama. Sebagai tambahan infromasi, penggunaan barbiturate dengan obat lain juga akan meningkatkan metabolisme obat lain yang digunakan bersama, sehingga membutuhkan dosis yang meningkat pula.
Toleransi farmakodinamika merujuk pada perubahan adaptif yang terjadi di dalam system tubuh yang dipengaruhi oleh obat, sehingga respons tubuh terhadap obat berkurang pada pemberian berulang. Hal ini misalnya terjadi pada penggunaan obat golongan benzodiazepine, di mana reseptor obat dalam tubuh mengalami desensitisasi, sehingga memerlukan dosis yang makin meningkat pada pemberian berulang untuk mencapai efek terapetik yang sama.
Toleransi yang dipelajari (learned tolerance) artinya pengurangan efek obat dengan mekanisme yang diperoleh karena adanya pengalaman terakhir.
Kebutuhan dosis obat yang makin meningkat dapat menyebabkan ketergantungan fisik, di mana tubuh telah beradaptasi dengan adanya obat, dan akan menunjukkan gejala putus obat (withdrawal symptom) jika penggunaan obat dihentikan. Ketergantungan obat tidak selalu berkaitan dengan obat-obat psikotropika, namun dapat juga terjadi pada obat-obat non-psikotropika, seperti obat-obat simpatomimetik dan golongan vasodilator nitrat.
Di sisi lain, adiksi atau ketagihan obat ditandai dengan adanya dorongan, keinginan untuk menggunakan obat walaupun tahu konsekuensi negatifnya. Obat-obat yang bersifat adiktif umumnya menghasilkan perasaan euphoria yang kuat dan reward, yang membuat orang ingin menggunakan dan menggunakan obat lagi. Adiksi obat lama kelamaan akan membawa orang pada ketergantungan fisik juga.
Obat-obat yang dikenal menyebabkan adiksi/ketagihan seperti kokain, misalnya, bekerja menghambat re-uptake dopamin, sedangkan amfetamin, bekerja meningkatkan pelepasan dopamin dari saraf dan menghambat re-uptake-nya, sehingga menyebabkan kadar dopamin meningkat.
Obat-obat psikotropika beserta dosis sedative dan dosis yang menyebabkan ketergantungan.
Nama Dosis sedatif (mg) Dosis ketergantungan dan waktu
untuk menimbulkan ketergantungan
Diazepam 5 – 10 40 – 100 mg x 42 – 120 hari
Klordiazepoksid 10 – 25 75 – 600 mg x 42 – 120 hari
Alprazolam 0,25 – 8 8 – 16 mg x 42 hari
Flunitrazepam 1 – 2 8 – 10 mg x 42 hari
Pentobarbital 100 800 – 2200 mg x 35 – 37 hari
Amobarbital 65 – 100 800 – 2200 mg x 35 – 37 hari
Meprobamat 400 1,6 – 3,2 g x 270 hari

Bagaimana farmakoterapinya?
Pengatasan penyalah-gunaan obat memerlukan upaya-upaya yang terintegrasi, yang melibatkan pendekatan psikologis, sosial, hukum, dan medis. Pada tulisan kali ini hanya akan dibahas mengenai farmakoterapi (terapi menggunakan obat) bagi keadaan yang terkait dengan ketergantungan obat.
Kondisi yang perlu diatasi secara farmakoterapi pada keadaan ketergantungan obat ada dua, yaitu kondisi intoksikasi dan kejadian munculnya gejala putus obat (“sakaw”). Dengan demikian, sasaran terapinya bervariasi tergantung tujuannya:
a. Terapi pada intoksikasi/over dosis: tujuannya untuk mengeliminasi obat dari tubuh, menjaga fungsi vital tubuh
b. Terapi pada gejala putus obat: tujuannya untuk mencegah perkembangan gejala supaya tidak semakin parah, sehingga pasien tetap nyaman dalam menjalani program penghentian obat
Tentunya masing-masing golongan obat memiliki cara penanganan yang berbeda, sesuai dengan gejala klinis yang terjadi. Di bawah ini disajikan tabel ringkasan terapi intoksikasi pada berbagai jenis obat yang sering disalahgunakan.






Tabel 1. Ringkasan tentang terapi intoksikasi
Klas obat Terapi obat Terapi non-obat Komentar
Benzodiazepin Flumazenil 0,2 mg/min IV, ulangi sampai max 3 mg Support fungsi vital Kontraindikasi jika ada penggunaan TCA ? resiko kejang
Alkohol, barbiturat, sedatif hipnotik non-benzodiazepin Tidak ada Support fungsi vital
Opiat Naloxone 0,4-2,0 mg IV setiap 3 min Support fungsi vital Jika pasien tidak responsif sampai dosis 10 mg ? mungkin ada OD selain opiat
Kokain dan stimulan CNS lain ? Lorazepam 2-4 mg IM setiap 30 min sampai 6 jam jika perlu
? Haloperidol 2-5 mg (atau antipsikotik lain) setiap 30 min sampai 6 jam -Support fungsi vital
- Monitor fungsi jantung - digunakan jika pasien agitasi
- digunakan jika pasien psikotik
- komplikasi kardiovaskuler diatasi scr simptomatis
Halusinogen, marijuana Sama dgn di atas Support fungsi vital,
„talk-down therapy“


Selanjutnya, di bawah ini adalah ringkasan untuk terapi mengatasi gejala putus obat.
Tabel 2. Ringkasan tentang terapi untuk mengatasi withdrawal syndrome (DiPiro, 2008)
Obat Terapi obat Komentar
Benzodiazepin
(short acting) Klordiazepoksid 50 mg 3 x sehari atau lorazepam 2 mg 3 x sehari, jaga dosis utk 5 hari, kmd tappering
Long acting BZD Sama, tapi tambah 5-7 hari utk tappering Alprazolam paling sulit dan butuh wkt lebih lama
Opiat Methadon 20-80 mg p.o, taper dengan 5-10 mg sehari, atau klonidin 2 ?g/kg tid x 7 hari, taper untuk 3 hari berikutnya - jika metadon gagal ? metadon maintanance program
- Klonidin menyebabkan hipotensi ? pantau BP
Barbiturat Test toleransi pentobarbital, gunakan dosis pada batas atas test, turunkan dosis 100 mg setiap 2-3 hari
Mixed-substance Lakukan spt pada long acting BZD
Stimulan CNS Terapi supportif saja, bisa gunakan bromokriptin 2,5 mg jika pasien benar-benar kecanduan, terutama pada kokain




FARMAKOTERAPI PADA GAGAL JANTUNG Dengan PENDEKATAN PROSES KEPERAWATAN
1. Pengertian
Gagal jantung adalah kelainan patofisiologik yang mana jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan akibat dari meningkatnya beban awal atau beban akhir atau menurunnya kontraktilitas miokard.
Manifestasi klinik dari gagal jantung dilihat dari derajat latihan fisik yang dapat menyebabkan timbulnya gejala, seperti sesak nafas dan kelelahan. Untuk menyatakan hubungan antara awitan gejala dan derajat latihan digunakan klasifikasi fungsional dari The New York Heart Association ( NYHA ), sebagai berikut :
a. Kelas I, bila gejala tidak timbul dengan melakukan kegiatan fisik biasa
b. Kelas II, bila gejala timbul dengan melakukan kegiatan fisik biasa
c. Kelas III, bila gejala timbul sewaktu melakukan kegiatan fisik ringan
d. kelas IV, bila gejala timbul walaupun dalam keadaan istirahat.
Penanganan gagal jantung dititik beratkan pada:
a. Pengurangan kerja jantung dengan membatasi aktivitas dan tirah baring
b. Pengurangan beban awal dengan menurunkan retensi cairan yang dapat dilakukan dengan membatasi konsumsi garam dan pemberian diuretik
c. Meningkatan kontraktilits miokardium dengan pemberian obat-obat inotropik ( digitalis)
d. Pengurangan beban akhir dengan pemberian vasodilator ( penghambat ACE, penghambat alfa-1). Penanganan dapat dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan meliputi pengkajian keperawatan, intervensi keperawatan dan evaluasi keperawatan .
2. Tujuan
Tujuan utama pengobatan gagal jantung adalah mengurangi gejala akibat bendungan sirkulasi, memperbaiki kapasitas kerja dan kualitas hidup serta memperpanjang harapan hidup. Untuk itu, pendekatan awal adalah memperbaiki berbagai gangguan yang mampu untuk menghilangkan beban kardiovaskular yang berlebihan, seperti mengobati hipertensi, mengobati anemia, mengurangi berat badan atau memperbaiki stenosis aorta. Gagal jantung yang tetap bergejala walaupun penyakit yang mendasarinya telah diobati, memerlukan pembatasan aktivitas fisik, pembatasan asupan garam dan obat .
Kebanyakan pasien gagal jantung memperlihatkan gangguan fungsi sistolik, sehingga farmakoterapi dimaksudkan untuk tujuan :
a. Menghilangkan gejala bendungan sirkulasi dengan memperbaiki kontraktilitas miokard
b. Mengurangi beban pengisian ventrikel ( preload) dan menurunkan tahanan perifer. Obat-obat utama untuk tujuan tersebut adalah glikosida digitalis dan zat inotropik lain untuk memperbaiki kontraktilitas, diuretik untuk mengurangi preload dan pada akhirnya juga afterload, serta vasodilator untuk mengurangi tahanan perifer.
Digitalis semula merupakan obat yang selalu diberikan pada klien gagal jantung, tetapi ternyata efektivitas diuretik pada gagal jantung sama dengan digitalis, terutama pada klien dengan edema sebagai gejala utama gagal jantung, sehingga pada strategi pengobatan gagal jantung pilihan pertama adalah pemberian diuretik ( Muchtar,A dan Z.S.Bustami dalam Ganiswarna, 2002 ).
3.1. Diuretik
Pada gagal jantung, berkurangnya volume darah arterial menyebabkan ginjal menahan air dan garam. Akibatnya sistem renin-angiotensin-aldosteron dipacu untuk membentuk angiotensin II yang merangsang sekresi aldosteron. Aldosteron menambah retensi natrium disertai pembuangan kalium, sehingga terjadi retensi cairan. Pemberian diuretik akan memacu ekskresi NaCl dan air sehingga preload berkurang dan gejala bendungan paru dan bendungan sistemik berkurang. Diuretik juga mengurangi volume ventrikel kiri dan tegangan dindingnya sehingga resistensi perifer menurun. Pada gagal jantung kronik yang ringan dengan irama sinus, diuretik merupakan pilihan pertama, sedangkan gagal jantung yang lebih berat, penggunaan diuretik harus lebih hati-hati dan pengaruhnya terhadap gangguan elektrolit yang telah ada sebelumnya harus dipertimbangkan
Pada fungsi ginjal yang normal, tiazid adalah obat terpilih untuk gagal jantung. Golongan obat ini meningkatkan ekskresi Na+ dan Cl- melalui urin. Secara sekunder terjadi pengeluaran K+ yang akan membahayakan pasien yang juga mendapat digitalis, karena itu pasien demikian perlu dilakukan pengukuran kadar elektrolit secara berkala. Hipokalemia yang timbul oleh tiazid dapat diatasi dengan tambahan K+ atau dengan pemberian diuretik hemat kalium.
Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (laju filtrasi glomerulus < 30 ml/menit) atau pasien yang edemanya menetap biasanya diberikan diuretik kuat seperti furosemid. Penggunaan diuretik yang berlebihan harus dihindari sebab hipovolemik yang diakibatkannya akan mengurangi curah jantung, mengganggu fungsi ginjal dan menyebabkan kelemahan umum. Selain itu diuretik yang berlebihan dapat menyebabkan pula edema yang refrakter. Pada keadaan demikian diuretik sebaiknya diberikan secara berselang untuk mempertahankan bebas edema.
3.1.1. Diuretik tiazid dan seperti-tiazid
Tiazid yang pertama kali dipasarkan adalah klorotiazid (1957) diikuti satu tahun kemudian oleh hidroklorotiazid. Saat ini terdapat berbagai macam preparat tiazid dan seperti-tiazid. Tiazid bekerja pada tubulus kontortus distal ginjal, sesudah ansa Henle, dengan meningkatkan ekskresi natrium, klor dan air. Tiazid dipakai untuk mengobati hipertensi dan edema perifer. Obat-obat ini tidak efektif untuk diuretik cepat ( Kee and Hayes, 1996 ).
a. Pengkajian Keperawatan
Sebelum memberikan tiazid pada klien dengan hipertensi , perlu dikaji dulu fungsi ginjal klien, meliputi intake dan output urin, peningkatan nitrogen urea darah dan peningkatan kreatinin darah, karena klien dengan gagal ginjal tidak boleh diberi tiazid. Selain itu dikaji juga apakah klien mendapat terapi lain seperti digitalis, litium dan obat antihipertensi lain. Tiazid dapat menyebabkan
hipokalemia , yang menguatkan kerja digoksin , dan bisa terjadi keracunan digitalis . Pada pemberian suplemen kalium , kadar kalium harus sering dipantau. Tanda dan gejala dari keracunan digitalis, seperti bradikardia, mual, muntah dan perubahan penglihatan, harus segera dilaporkan. Tiazid juga menguatkan kerja litium, dan dapat terjadi keracunan litium. Tiazid memperkuat kerja obat-obat antihipertensi lainnya, yang mungkin dipakai secara kombinasi ( Kee and Hayes, 1996; DiPiro, 1999; Katzung, 2001).


b. Intervensi Keperawatan
Berikan tiazid pada pagi hari untuk menghindari nokturia, karena tiazid diabsorpsi dengan baik dalam traktus gastrointestinal (TGI). Hidroklorotiazid memiliki ikatan protein yang lebih lemah dibandingkan dengan furosemid (diuretik kuat). Waktu paruh tiazid lebih panjang daripada diuretik kuat.
Observasi dan catat tekanan darah serta nadi klien secara periodik karena tiazid bekerja langsung pada arteriol , menyebabkan vasodilatasi , sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Awal kerja dari hidrotiazid timbul dalam waktu 2 jam , dan untuk furosemid dalam waktu 1 jam. Konsentrasi puncak berbeda – beda . Tiazid terbagi atas tiga kelompok sesuai dengan lama kerjanya :
a. Tiazid kerja pendek memiliki lama kerja kurang dari 12jam
b. Tiazid kerja menengah lama kerjanya antara 12-24 jam
c. Tiazid yang bekerja lama memiliki lama kerja lebih dari 24 jam .
Furosemid adalah diuretik yang lebih poten daripada tiazid, bekerja dengan cepat dan memiliki lama kerja yang lebih pendek , dan diekskresi lebih cepat ( Kee and Hayes, 1996 ).
Anjurkan klien diabetik yang memakai diuretik tiazid untuk mengukur gula darahnya. Usahakan agar klien memiliki daftar hasil pemeriksaan gula darahnya secara periodik.
c. Evaluasi Keperawatan
Efek samping dan reaksi yang merugikan dari tiazid adalah ketidakseimbangan elektrolit ( hipokalemia , hipokalsemia , hipomagnesemia , dan kehilangan bikarbonat), hiperglikemia (gula darah meningkat), hiperuresemia
( kadar asam urat serum meningkat ), dan hiperlipidemia ( kadar lemak darah meningkat ) . Tanda-tanda dan gejala-gejala dari hipokalemia harus di kaji , dan kadar kalium serum harus diawasi dengan ketat . Sering kali diperlukan obat suplemen kalium .
Kadar asam urat dan kalium dalam serum harus diperiksa karena tiazid menghambat ekskresi kalium dan asam urat ; bisa terjadi hiperkalsemia (peningkatan kadar kalsium darah) dan hiperurisemia . Tiazid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, dan bisa terjadi hiperglikemia , terutama pada klien yang mempunyai kadar darah tinggi atau di atas batas normal . Tiazid dapat meningkatkan kolesterol serum , lipoprotein berdensitas rendah , dan kadar trigliserida . Mungkin perlu di berikan obat untuk menurunkan kadar lemak darah. Efek samping lain mencakup pusing, sakit kepala , mual, muntah, konstipasi , urtikaria , dan diskrasia darah
( jarang) ( Kee and Hayes, 1996 ).


3.1.2. Diuretik Kuat (loop/high-ceiling)
Diuretik kuat, bekerja pada ansa Henle dengan menghambat transport klorida terhadap natrium ke dalam sirkulasi ( menghambat reabsorpsi natrium pasif ).
Garam natrium dan air akan keluar bersama dengan kalium, kalsium dan magnesium. Obat-obat ini hanya memiliki sedikit efek terhadap gula darah, tetapi kadar asam urat meningkat. Obat-obat golongan ini sangat poten dan menyebabkan penurunan jumlah air dan elektrolit dalam jumlah besar. Efek dari diuretik kuat berkorelasi dengan dosis, yaitu dengan meningkatkan dosis efek maka respons obat ini juga meningkat. Diuretik kuat lebih berpotensi menghambat resorpsi natrium dua sampai tiga kali lebih efektif daripada tiazid, tetapi efektivitasnya untuk antihipertensi berkurang. Asam etakrinik (Edecrin, akhir 1950-an) dan furosemid (Lasix, 1960) merupakan diuretik pertama yang dipasarkan. Bumetanide (Bumix), diuretik kuat yang terbaru, lebih poten dari furosemid ( Kee and Hayes, 1996 ; Katzung, 2001 ).
a. Pengkajian Keperawatan
Kaji penggunaan digitalis dan kadar kalium darah, karena interaksi obat yang paling utama adalah dengan preparat digitalis. Jika klien memakai digoksin dengan diuretik kuat, bisa terjadi keracunan digitalis. Klien ini memerlukan kalium tambahan melalui makanan atau obat. Hipokalemia memperkuat kerja digoksin dan meningkatkan risiko keracunan digitalis.
b. Intervensi Keperawatan
Diuretik kuat merupakan obat yang cepat diabsorpsi di saluran pencernaan.
Obat-obat ini merupakan obat yang berikatan dengan protein sangat tinggi dengan waktu paruh yang bervariasi dari 30 menit sampai 1,5 jam. Diuretik kuat berlomba untuk mendapatkan tempat ikatan protein dengan obat-obat yang berikatan dengan protein sangat tinggi lain.
Diuretik kuat mempunyai efek yang besar untuk menghilangkan natrium dan dapat menyebabkan diuresis cepat. Waktu kerja awal dari diuretik terjadi setelah 30 – 60 menit. Awal kerja bentuk furosemid intravena adalah 5 menit, lebih pendek dari tiazid.
Berikan penjelasan pada klien dan/atau keluarga untuk mempertahankan nutrisi yang baik dan kurangi konsumsi garam, tetapi tingkatkan makanan yang kaya kalium seperti buah-buahan, sayur-sayuran, kacang, daging dan ikan, karena diuretik kuat tidak menghemat kalium ( Kee and Hayes, 1996 ).
Anjurkan klien untuk bangun dari posisi tidur ke duduk atau dari posisi duduk ke berdiri secara perlahan-lahan untuk mencegah efek hipotensi ortostatik.
Ajarkan klien cara memantau nadi dan beritahu klien untuk memantau nadinya jika minum diuretik dan digitalis. Jelaskan tanda-tanda keracunan digitalis dan segera lapor pada perawat atau dokter yang bertugas.
c. Evaluasi Keperawatan
Efek samping yang paling sering dijumpai adalah ketidakseimbangan elektrolit dan cairan, seperti hipokalsemia dan hipokloremia. Pantau intake dan output serta kadar elektrolit darah. Observasi tekanan darah dalam berbagai posisi ( berbaring, duduk dan berdiri, lalu bandingkan, karena hipotensi ortostatik dapat timbul. Trombositopenia, gangguan kulit dan tuli, sementara jarang terlihat
( Kee and Hayes, 1996; DiPiro, 1999 ).
3.1.3. Diuretik Hemat Kalium
Diuretik hemat kalium, lebih lemah dari tiazid dan diuretik kuat, dipakai untuk diuretik ringan atau dalam kombinasi dengan obat antihipertensi. Obat-obat ini bekerja pada tubulus distal ginjal untuk meningkatkan ekskresi natrium dan air serta kalium. Obat ini mengganggu pompa natrium-kalium yang dikontrol oleh hormon aldosteron (natrium ditahan dan kalium diekskresi), sehingga kalium direabsorpsi dan natrium diekskresi. Ada kombinasi diuretik hemat kalium dan yang tidak menahan kalium yaitu triamteren hidroklorotiazid (Dyazide) dan spironolakton hidroklorotiazid (Aldactazide), yang memiliki efek diuretik yang telah diperkuat dan memiliki sifat hemat kalium.
Spironolakton (Aldactone), suatu antagonis aldosteron yang ditemukan pada tahun 1958, adalah diuretik hemat kalium pertama. Aldosteron adalah hormon mineralokortikoid yang meningkatkan retensi natrium dan ekskresi kalium. Antagonis aldosteron menghambat pompa natrium-kalium, sehingga kalium ditahan dan natrium diekskresi. Amiloride dan triamterene adalah dua diuretik hemat kalium tambahan yang sering digunakan saat ini. Jika diuretik kombinasi yang dipakai, baik yang dikombinasikan dalam satu tablet atau yang diminum
dalam tablet-tablet terpisah, dosis masing-masing biasanya lebih rendah dari dosis obat ini bila dipakai tersendiri ( Kee and Hayes, 1996 ).
a. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian utama adalah melakukan pemeriksaan kadar elektrolit darah, terutama kalium dan fungsi ginjal karena efek samping utama dari obat-obat ini adalah hiperkalemia. Hati-hati dalam memberikan obat ini pada klien yang fungsi ginjalnya buruk, karena 80-90% dari kalium diekskresikan olah ginjal. Urin harus sekurang-kurangnya 600 ml sehari, jadi pemantauan intake dan output klien juga harus diperhatikan. Klien tidak boleh menggunakan tambahan kalium jika meminum obat diuretik hemat kalium , kecuali jika kadar kalium dalam serum sangat rendah. Pemantauan kadar kalium serum sangat perlu. Gangguan gastrointestinal dapat terjadi (Kee and Hayes, 1996 ).


b. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan diprioritaskan pada pemantauan tanda vital , terutama tekanan darah dan nadi. Diuretik dapat menyebabkan penurunan tekanan darah dan jika volume cairan menurun banyak, denyut jantung akan meningkat untuk mengkompensasi kehilangan cairan.
Perhatikan asupan cairan dan pantau haluaran urin, karena diuretik meningkatkan haluaran urin . Penurunan jumlah urin sewaktu klien sedang memakai diuretik mungkin disebabkan oleh kurang minum atau adanya insufisiensi ginjal.
Pantau berat badan klien setiap pagi dengan menggunakan pakaian dan
timbangan yang sama.
Lakukan pemeriksaan elektrokardiografi untuk mengetahui adanya hipokalemia atau hiperkalemia( Ignatavicius and Bayne, 1991; Kee and Hayes, 1996 )
c. Evaluasi Keperawatan
Lakukan evaluasi terhadap efektivitas diuretik dengan mencatat apakah edema perifer berkurang, auskultasi suara paru apakah bersih dan apakah terjadi penurunan berat badan ( Kee and Hayes, 1996 ).
3.2. Vasodilator
Vasodilator yang bekerja langsung adalah obat tahap III yang bekerja dengan merelaksasikan otot-otot polos dari pembuluh darah, terutama arteri, sehingga menyebabkan vasodilatasi. Dengan terjadinya vasodilatasi, tekanan darah akan turun dan natrium serta air tertahan, sehingga terjadi edema perifer. Diuretik dapat diberikan bersama-sama dengan vasodilator yang bekerja langsung untuk mengurangi edema. Refleks takikardia timbul disebabkan oleh vasodilatasi dan menurunnya tekanan darah. Penghambat beta sering diberikan bersama-sama dengan vasodilator arteriola untuk menurunkan denyut jantung, hal ini melawan refleks takikardia. Dua dari vasodilator yang bekerja langsung, hidralazin dan minoksidil, dipakai untuk pengobatan hipertensi yang sedang dan berat. Nitroprusid dan diazoksid digunakan untuk mengatasi hipertensi akut yang darurat. Kedua obat ini merupakan vasodilator kuat yang dengan cepat menurunkan tekanan darah. Nitroprusid bekerja pada pembuluh darah arteri dan vena, sedangkan diazoksid bekerja pada pembuluh darah arteri ( Kee and Hayes,1996 ; Katzung, 2001 ).
Penghambat alfa1 (alfa1- blocker) menghambat reseptor alfa1 di pembuluh darah terhadap efek vasokonstriksi norepinefrin dan epinefrin sehingga terjadi dilatasi arteriol dan vena. Dilatasi arteriol menurunkan resistensi perifer, sehingga terjadi penurunan tekanan darah. Akibatnya terjadi refleks takikardia tetapi hanya sedikit dan denyut jantung menurun kembali setelah pemberian kronik. Venodilatasi mengurangi alir balik vena. Hambatan venokonstriksi dapat menyebabkan hipotensi ortostatik yang dapat menjadi simtomatik, terutama pada pemberian dosis awal.
Hanya penghambat alfa yang selektif memblok adrenoseptor alfa1, yang berguna untuk pengobatan gagal jantung, lebih-lebih yang berhubungan dengan hipertensi, penyakit jantung iskemik, insufisiensi mitral atau aorta dan kardiomiopati yang menyebabkan bendungan. Penghambat alfa yang nonselektif juga menghambat adrenoseptor alfa2 di ujung saraf adrenergic sehingga meningkatkan penglepasan norepinefrin. Efek norepinefrin di jantung tidak dihambat, sehingga terjadi perangsangan jantung yang berlebihan (efek langsung maupun tidak langsung melalui refleks simpatis akibat vasodilatasi perifer). Hal ini menyebabkan penghambat alfa yang nonselektif kurang efektif sebagai obat gagal jantung yang disebabkan oleh hipertensi. Penghambat alfa1 yang tersedia sebagai antihipertensi saat ini adalah prazosin, terazosin, doksazosin,dan bunazosin.
Penghambat alfa merupakan satu-satunya golongan antihipertensi yang memberikan efek positif terhadap lipid darah (menurunkan kolesterol LDL dan trigliserida, dan meningkatkan kolesterol HDL). Penghambat alfa juga dapat menurunkan resistensi insulin (disamping penghambat ACE), mengurangi gangguan vaskular perifer, memberikan sedikit efek bronkodilatasi dan mengurangi serangan asma akibat latihan fisik, merelaksasi otot polos prostat dan leher kandung kemih sehingga mengurangi gejala-gejala hipertrofi prostat, tidak mengganggu aktivitas fisik, dan tidak berinteraksi dengan AINS. Karena itu penghambat alfa dianjurkan penggunaannya pada klien hipertensi yang disertai diabetes, dislipidemia, obesitas, gangguan resistensi perifer, asma, hipertrofi prostat, dan perokok. Dapat juga dianjurkan untuk klien muda yang aktif secara fisik dan mereka yang menggunakan AINS ( A. Setiawati dan Bustami dalam Ganiswarna, 2002 ).
a. Pengkajian Keperawatan
Kaji apakah klien minum obat-obat antiinflamasi dan nitrat, karena interaksi obat akan timbul ketika penghambat alfa diminum bersama obat-obat antiinflamasi dan nitrat (nitrogliserin) untuk angina.
Kaji pula apakah klien mengalami edema perifer, karena edema perifer diperberat jika prazosin dan obat antiinflamasi dipakai setiap hari. Nitrogliserin yang diberikan untuk angina akan menurunkan tekanan darah, dan jika diberikan dengan prazosin, klien dapat mengalami sinkop karena penurunan tekanan darah (Kee and Hayes,1996)
Efek hidralazin banyak mencakup takikardia, palpitasi, edema, kongesti hidung, sakit kepala, pusing, perdarahan saluran cerna, gejala-gejala seperti lupus dan gejala-gejala neurologik (kesemutan, baal, dll).
Minoksidil memiliki efek samping yang serupa, berupa takikardia, edema dan pertumbuhan rambut yang berlebihan. Dapat menyebabkan serangan angina.
Nitroprusid dan diazoksid dapat menyebabkan refleks takikardia, palpitasi, kegelisahan, agitasi, mual dan bingung. Hiperglikemia akan timbul pada pemberian diazoksid karena obat ini menghambat pelepasan insulin dari sel-sel beta pankreas
( Kee and Hayes, 1996 ).
b. Intervensi Keperawatan
Prazosin diabsorpsi melalui saluran cerna, tetapi sebagian besar akan hilang selama metabolisme lintas pertama di hati. Waktu paruh obat ini singkat, sehingga sering diberikan dua kali sehari. Prazosin sangat mudah berikatan dengan protein, dan jika diberikan bersama obat lain, yang juga sangat mudah berikatan dengan protein, klien harus diperiksa terhadap timbulnya reaksi yang merugikan.
Penghambat alfa selektif mendilatasi arteriola dan venula , menurunkan tahanan perifer dan tekanan darah, efeknya lebih jelas pada kerja fisik ketimbang pada istirahat. Pada prazosin, denyut jantung hanya sedikit bertambah. Penghambat alfa lebih efektif untuk mengobati hipertensi akut dan penghambat alfa selektif lebih berguna untuk hipertensi esensial jangka panjang. Mula kerja dari prazosin terjadi antara 30 menit sampai 2 jam
(Kee and Hayes, 1996; Muchtar, A dan Z.S. Bustami, 2002 ).
c. Evaluasi Keperawatan
Efek samping meliputi hipotensi ortostatik (pusing, rasa ingin pingsan, kepala ringan, peningkatan denyut jantung) yang sering muncul dalam pengobatan hipertensi jarang tampak pada pengobatan gagal jantung. Mual, rasa mengantuk, kongesti hidung karena vasodilatasi, edema dan kenaikan berat badan harus dievaluasi pada pemberian prazosin, doksazosin dan terazosin. Toleransi secara dikurangi dengan :
a. Menambahkan diuretik
b. Meningkatkan dosis prazosin
c. Mengganti dengan vasodilator lain ( Kee and Hayes, 1996 ; Muchtar, A dan Z.S. Bustami, 2002 ).
3.3. Penghambat Enzim Konversi Angiotensin (penghambat ACE)
Kaptopril adalah penghambat ACE yang pertama ditemukan. Sejak itu telah dikembangkan banyak penghambat ACE lain dan yang telah resmi beredar di Indonesia adalah enalapril, lisinopril, kuinapril, perindopril, ramipril, silazapril, benazepril, dan fosinopril
Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (RAA) : renin disekresi oleh sel jukstaglomerulus di dinding arteriol aferen dan glomerulus ke dalam darah bila perfusi ginjal menurun (akibat menurunnya TD atau adanya stenosis pada arteri ginjal), bila terdapat deplesi natrium (penurunan kadar natrium dalam tubuli ginjal), dan/atau bila terdapat stimulasi adrenergik (melalui reseptor beta1).

Renin, yang merupakan enzim proteolitik, akan memecah angiotensin, suatu
alfa globulin yang disintesis dalam hati dan beredar dalam darah, menjadi angiotensin 1 (A1). A1 yang relatif tidak aktif akan dikonversi dengan cepat sekali oleh ACE yang terikat pada membran sel endotel yang menghadap ke lumen di seluruh sistem vaskuler, menjadi angiotensin II (AII) yang sangat aktif. AII bekerja pada reseptor di otot polos vaskuler, korteks adrenal, jantung dan SSP untuk menimbulkan konstriksi arteriol dan venula (efek pada arteriol lebih kuat), stimulasi sintesis dan sekresi aldosteron, stimulasi jantung dan sistem simpatis, dan efek di SSP berupa stimulasi konsumsi air dan peningkatan sekresi ADH. Akibatnya terjadi peningkatan resistensi perifer, reabsorpsi natrium dan air, serta peningkatan denyut jantung dan curah jantung. Peningkatan TD ini mengaktifkan mekanisme umpan balik yang mengurangi sekresi renin.
ACE juga adalah enzim kininase II yang menginaktifkan bradikinin. Bradikinin merupakan vasodilator arteriol sistemik yang poten, kerjanya melalui produksi EDRF (endothelial-derived relaxing factor) dan prostaglandin oleh sel-sel endotel vaskuler.
Sistem RAA tidak berperan aktif dalam mempertahankan homeostasis TD pada subyek dengan volume darah dan kadar natrium yang normal, tetapi berperan penting dalam mempertahankan TD dan volume intravaskuler sewaktu terdapat deplesi natrium dan cairan.
a. Pengkajian Keperawatan
Kaji fungsi ginjal dan kadar elektrolit serum serta tekanan darah klien. Pada pemberian dosis pertama akan timbul hipotensi simtomatik yang berat. Gagal
ginjal reversibel dapat terjadi pada klien dengan stenosis arteri ginjal pada kedua ginjal. Bila pada klien dengan gangguan fungsi ginjal diberikan kaptopril, risiko hiperkalemia meningkat ( A. Setiawati dan Bustami dalam Ganiswarna, 2002 ).
b. Intervensi Keperawatan
Bioavailabilitas kaptopril oral 60-65% dan berkurang bila diberikan bersama makanan, maka obat ini harus diberikan 1 jam sebelum makan. Ikatan dengan
protein plasma sekitar 30%. Waktu paruh eliminasinya sekitar 2,2 jam. Ekskresi utuh dalam urin terjadi 40% dari dosis yang availabel, maka pada gangguan ginjal dosis obat harus dikurangi ( A. Setiawati dan Bustami dalam Ganiswarna, 2002 ).
Penghambat ACE mengurangi pembentukan AII, sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron yang menyebabkan terjadinya ekskresi natrium dan air, serta retensi kalium. Akibatnya terjadi penurunan TD pada klien hipertensi esensial maupun hipertensi renovaskuler. Penurunan TD sekitar 10/5 sampai 15/12 mmHg ( DiPiro, 1999 ; A. Setiawati dan Bustami dalam Ganiswarna, 2002 ).

Penurunan TD oleh penghambat ACE disertai dengan penurunan resistensi perifer, tanpa disertai refleks takikardia. Penghambat ACE juga mengurangi tonus vena. Hambatan inaktivasi bradikinin oleh penghambat ACE meningkatkan bradikinin dan prostaglandin vasodilator sehingga meningkatkan vasodilatasi akibat hambatan pembentukan AII ( DiPiro, 1999 ; A. Setiawati dan Bustami dalam Ganiswarna, 2002 ).
Penghambat ACE mempunyai kurva dosis-respons yang relatif curam pada kisaran dosis rendah dan menjadi relatif rata pada kisaran dosis tinggi. Diuretik atau diet rendah garam merangsang sekresi renin dan mengaktifkan sistem RAA sehingga memberikan efek sinergistik dengan penghambat ACE. ( A. Setiawati dan Bustami dalam Ganiswarna, 2002 ).
c. Evaluasi Keperawatan
Batuk kering merupakan efek samping yang paling sering terjadi (10-20%), lebih sering pada wanita dan pada malam hari serta sifatnya reversibel. Efek samping lain berupa rash dan gangguan pengecap, namun bila digunakan dosis rendah (<150 mg/hr) gejala rash dan gangguan pengecap tidak ada ( A. Setiawati dan Bustami dalam Ganiswarna, 2002 ).
3.4.. Digitalis
Digitalis merupakan glikosida yang terdiri atas steroid, cincin lakton, dan beberapa molekul heksosa. Gabungan steroid dengan cincin lakton dinamai aglikon (genin) yang merupakan gugus aktif, sedangkan gugus 1-4 gugus gula yang terikat pada aglikon menentukan kelarutan glikosida tersebut dalam air dan lemak.
Sifat farmakodinamik utama digitalis adalah inotropik positif, yaitu meningkatkan kekuatan kontraksi miokardium. Digitalis juga menyebabkan perlambatan denyut ventrikel pada fibrilasi dan fluter atrium serta pada kadar toksik menimbulkan disritmia. Efektivitas digitalis pada gagal jantung kongestif timbul karena kerja langsungnya dalam meningkatkan kontraksi miokardium.
Digitalis juga bekerja langsung pada otot polos pembuluh darah, selain itu efeknya pada jaringan saraf mempengaruhi secara tidak langsung aktivitas mekanik dan listrik jantung serta resistensi dari daya tampung pembuluh darah. Perubahan dalam sirkulasi akibat digitalis sering diikuti oleh perubahan refleks pada aktivitas otonom dan keseimbangan hormonal yang secara tidak langsung berpengaruh baik terhadap fungsi kardiovaskuler ( Muchtar, A dan Z.S.Bustami, 2002 ).
a. Pengkajian
Kaji waktu makan dan kondisi saluran cerna klien karena penyerapan digoksin dihambat oleh adanya makanan dalam saluran cerna, melambatnya pengosongan lambung dan sindrom malabsorpsi.
Kaji penggunaan obat-obat yang dapat mengurangi absorpsi seperti kolesteramin, kolestipol, kaolin, pektin karbon aktif, neomisin, siklosfosfamid, vinkristin dan laksans.
Kaji kadar protein plasma, 25% digoksin terikat pada protein plasma sedangkan digitoksin lebih dari 95%. Kaji juga fungsi ginjal, fungsi hati, kadar elektrolit terutama kadar kalium dan periksa ECG ( Kee & Hayes, 1996 ; Muchtar,A dan Z.S.Bustami, 2002).
b. Intervensi Keperawatan
Anjurkan agar setiap dokter menggunakan satu macam sediaan yang sudah dikenalnya secara tetap atau menuliskan nama pabrik pembuatnya bila obat diresepkan berdasarkan nama generik, sebab terdapat perbedaan bioavailabilitas antar obat dari pabrik yang berbeda. Perbedaan bioavailabilitas terjadi karena perbedaan kecepatan dan derajat disolusi.
Kadar puncak digoksin dalam plasma dicapai dalam waktu 2-3 jam setelah pemberian peroral dengan efek maksimal selama 4-6 jam. Bila digoksin tidak diberikan dalam loading dose diperlukan waktu sampai 1 minggu untuk mencapai kadar steady state dalam plasma, karena waktu paruh obat dalam tubuh adalah antara 1-2 hari. Penyerapan digitoksin lebih sempurna karena digitoksin lebih larut dalam lemak, maka dosis intravena diasumsikan sama dengan dosis oral.
Distribusi glikosida dalam tubuh berlangsung lambat. Digitalis disebar ke hampir semua jaringan, termasuk ke eritrosit, otot skelet dan jantung. Pada keadaan seimbang, kadar dalam jaringan jantung 15-30 kali lebih tinggi daripada kadar dalam plasma, sementara kadar dalam otot setengah kadar dalam jantung. Efek maksimal baru timbul 1 jam atau lebih setelah kadar maksimal di jantung tercapai.
Digoksin dieliminasi terutama melalui ginjal. Digitoksin dimetabolisme secara aktif oleh enzim mikrosom hati dan salah satu metabolitnya adalah digoksin. Metabolisme digitoksin dapat dipercepat oleh obat yang merangsang enzim mikrosom yaitu fenilbutazon, fenobarbital, fenitoin dan rifampisin. Waktu paruh eliminasi digoksin rata-rata adalah 1,6 hari sedangkan digitoksin hampir 7 hari dan tidak berubah pada gangguan faal hati
( Kee & Hayes, 1996 ; Muchtar,A dan Z.S.Bustami, 2002 ).







c. Evaluasi
Evaluasi secara berkala gambaran ECG klien dan kadar elektrolit darah terutama kalium, karena rasio terapi digitalis sangat sempit sehingga 5-20% klien umumnya memperlihatkan gejala toksik dengan manifestasi yang sukar dibedakan dengan tanda-tanda gagal jantung. Sebab yang paling sering adalah pemberian digitalis bersama diuretic yang menyebabkan deplesi kalium dan pemberian dosis pemeliharaan yang terlalu besar
( Kee & Hayes, 1996 ; Muchtar,A dan Z.S.Bustami, 2002 ).






























BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan Materi yang telah kami jabarkan kami dapat mengambil kesimpulan bahwa:
1. Untuk menangani penggunaan obat yang tidak rasional, WHO menyatakan 11 langkah intervensi untuk mempromosikan pengobatan yang rasional yaitu:
a. Badan nasional multidisiplin yang mengkoordinasikan kebijakan-kebijakan penggunaan obat
b. Badan nasional multidisiplin yang mengkoordinasikan kebijakan-kebijakan penggunaan obat
c. Daftar obat esensial berdasarkan panduan pengobatan
d. Komite pengobatan dan obat di rumah sakit dan daerah setempat
e. Pelatihan berdasarkan masalah dalm farmakoterapi pada kurikulum sekolah kedokteran
f. Pendidikan medis berkelanjutan
g. Supervisi, audit dan umpan balik
h. Informasi obat yang independen
i. Edukasi masyarakat mengenai obat
j. Menghindari insentif finansial
k. Regulasi yang sesuai dan dilaksanakan
2. Istilah penyalahgunaan obat merujuk pada keadaan di mana obat digunakan secara berlebihan tanpa tujuan medis atau indikasi tertentu. Sedangkan, istilah pengguna-salahan obat adalah merujuk pada penggunaan obat secara tidak tepat, yang biasanya disebabkan karena pengguna memang tidak tahu bagaimana penggunaan obat yang benar.
3. Farmakoterapi pada penyakit jantung dimaksudkan untuk tujuan :
a. Menghilangkan gejala bendungan sirkulasi dengan memperbaiki kontraktilitas miokard
b. Mengurangi beban pengisian ventrikel ( preload) dan menurunkan tahanan perifer.
Obat-obat utama untuk tujuan tersebut adalah glikosida digitalis dan zat inotropik lain untuk memperbaiki kontraktilitas, diuretik untuk mengurangi preload dan pada akhirnya juga afterload, serta vasodilator untuk mengurangi tahanan perifer.

BAB IV

DAFTAR ISTILAH

1. Absorpsi : Pengambilan zat ke dalam atau melalui jaringan
2. ACE : Senyawa yang menghambat kegiatan enzim pengubah angiotensin, sehingga mencegah terjadinya kenaikan darah
3. Adaptif : Mudah menyesuaikan dengan keadaan
4. Adiksi : Ketagihan obat
5. Adrenodeptor : Reseptor adrenergic
6. Aglikon : Kelompok non karbohidrat suatu molekul glikosida
7. Akurat : Tepat, pasti benar
8. Aldosteron : Hormon mineralkortikoid, utama yang disekresi korteks adrenal
9. Amfetamin : Obat yang menimbulkan ketagihan
10. Analgesik : Bahan yang mengurangi nyeri tanpa menyebabkan hilangnya kesadaran
11. Anemia : Penurunan di bawah normal dalam jumlah eritrosit
12. Angina : Nyeri menekan
13. Angiotensin : Peptida yang dibentuk dalam hati barkat interaksi enzim renin terhadap globulin Angiotensinogen menjada Angiotensin satu yang hampir tidak aktif
14. Antibiotik : Substansi kimiawi yang dihasilkan oleh suatu organisme yang mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme lain
15. Antihipertensi : Jauh dari tekanan darah tinggi
16. Arteriol : Pembuluh nadi paling kecil
17. Asma : Keadaan ditandai dengan serangan sesak nafas berulang disertai dengan nafas berbunyi karena kejang otot-otot polos ranting-ranting tenggorokan
18. Asupan : Pemberian yang telah ditentukan
19. Audit : Penilaian kewajaran laporan
20. Auskultasi : Tindakan mendengarkan suara-suara di dalam tubuh
21. Bioavailability : Derajat suatu obat atau substansi lain dalam mencapai jaringan target setelah diberikan
22. Bradikardi : Keadaan denyut jantung yang lambat
23. Cocain : Jenis obat yang diperoleh dari daun koka berkhasiat anestetik narkotik dan midriatik
24. Degradasi : Penurunan (mutu)
25. Densitas : Kualitas yang rapat atau padat
26. Deplesi : Perbuatan atau proses mengurangkan sebagian cairan dalam tubuh khususnya melalui perdarahan
27. Desensitisasi : Usaha mengurangkan atau menghilangkan energi terhadap suatu zat
28. Diabetes : Kelainan yang ditandai dengan ekskresi urin yang banyak
29. Diagnosis : Penentuan penyakit pasien
30. Digitalis : Obat yang digunakan untuk menyembuhkan sakit jantung
31. Digitoxin : Mempunyai khasiat dan pemakaian serupa dengan digitalis diberikan secara oral atau intravena
32. Digoksin : Obat yang dibrikan untuk penyakit jantung
33. Distribusi : Penyaluran (pembagian) ke beberapa tempat
34. Diuretik : Meningkatkan ekskresi urin atau jumlah urin
35. Dokter : Lulusan pendidikan kedokteran yang ahli dalam hal penyakit dan pengobatan
36. Dosis : Banyaknya suatu obat yang dapat dipergunakan atau diberikan kepada seorang penderita, baik untuk obat dalam maupun obat luar
37. Dosis Sedatif : Takaran obat untuk menghilangkan iritabilitas (rangsangan)
38. Drug abuse : Obat untuk cedera atau serangan seperti dalam pelecehan fisik, psikologis atau seksual terhadap anak atau manula
39. Drug misuse : Obat untuk mengendalikan, kepemilikan, pemasukan, penyimpanan, peresepan dan pemberian kelompok obat tertentu
40. Endotel : Perbenihan yang dikenbangkan oleh esendo ahli mikrobiologi jepang
41. Enzim : Protein yang dihasilkan dalam sel dan mampu mempercepat reaksi kimia substansi yang sering bersifat spesifik
42. Euphoria : kebahagiaan yang abnormal, tidak sesuai dengan fakta
43. Farmakodinamik : Efek yang diberikan oleh obat terhadap tubuh
44. Farmakokinetik : Mempelajari segala tindakan yang dilakukan tubuh terhadap obat
45. Farmasi : Ilmu meracik obat, penyediaan dan penyimpanan obat
46. Fibrilasi : Proses pembentukan serabut
47. Filtrasi : Pelintasan cairan melalui saringan
48. Finansial : Mengenai keuangan
49. Gastrointedtinal : Berhubungan dengan lambung dan usus
50. Glukosida : Senyawa glukosa
51. Gugus : Atom-atom yang lewat melalui deretan reaksi tanpa terpisah
52. Heroin : Bubuk kristal putih yang dihasilkan dari morfin
53. Hiperglikemia : Kelebihan kadar gula dalam darah
54. Hiperlipidemia : Kelebihan kadar lemak dalam darah
55. Hipertensi : Tekanan darah tinggi
56. Hiperurisemia : Kelebihan kadar ureum dalam darah
57. Hipokalemia : Kandungan kalium dalam darah rendah
58. Hipokalsemia : Kandungan kalsium dalam darah rendah
59. Hipomagnesemia : Kandungan magnesium dalam darah rendah
60. Hipovolemik : Berkaitan dengan atau ditandai oleh hipovolemia
61. Homeostatis : Kecenderungan untuk mengatur dalam mempertahankan lingkungan dalam tubuh yang stabil
62. Inotropik : Sifat mempengaruhi daya kerut otot
63. Insentif : Tambahan untuk memperbesar gairah kerja
64. Inspeksi : Pemeriksaan dengan mata
65. Insufiensi : Keadaan tidak sanggup melakukan fungsi yang normal
66. Insulin : Hormon protein berantai ganda yang dibentuk dari pro insulin pada sel beta pulau pankreatik langerhans
67. Intoksikasi : Keracunan
68. Intravaskuler : Pembuluh darah
69. Kadar : Perbandingan antara masa bahan pelarut dan zat yang telah dilarutkan
70. Konstriksi : Pembengkakan dan pembekuan darah yang terkontrol oleh mengerutnya pembuluh darah
71. Korelasi : Hubungan timbal balik
72. Korteks : Bagian luar suatu alat organ
73. Kronik : Catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya
74. Lisensi : Surat ijin
75. Lipoprotein : Kombinasi lemak dan protein yang mengandung sifat umum protein
76. Loading dose : Masa aktif obat
77. Lumen : Rongga atau daluran di dalam tabung atau organ kita
78. Lupus : Setiap kelompok penyakit kulit dimana lesi ditandai oleh erosi
79. Malabsobsi : Gangguan penyerapan nutrien dari saluran cerna
80. Medis : Berhubungan dengan bidang kedokteran
81. Metabolisme : Pembentukan dan penguraian zat dalam badan yang memungkinkan berlangsungnya hidup
82. Mikrosom : Setiap fragmen vesikular dari retikulum endoplasma yang dibentuk setelah gangguan dan sentrifugasi sel
83. Minoksidril : Vasodilator kuat dan bekerja lama yang terutama bekerja pada anterior, digunakan untuk hipertensi
84. Misoprostol : Sintesis yang dipakai untuk mengobati iritasi lambung
85. Molekul : Masa bahan yang kecil atau jumlah substansi terkecil yang dapat ditemukan tersendiri
86. Neurobiologi : Biologi sistem saraf
87. Neurologic : Pengobatan kelainan sistem saraf
88. Nitrogliserin : Vasodilator yang terutama digunakan sebagai profilaksis dan pengobatan angina pektoris
89. Norepinefrin : Vasopresor yang kuat dan digunakan untuk memulihkan tekanan darah pada keadaan hipotensi
90. Obat : Senyawa atau campuran senyawa untuk mengurangi gejala atau menyembuhkan penyakit
91. Obat depresan : Obat yang menurunkan aktifitas fungsional
92. Obesitas : peningkatan berat badan melebihi batas kebutuhan rangka dan fisik sebagai akibat akumulasi lemak berlebihan dalam tubuh
93. Observasi : Pengamatan, peninjauan secara cermat
94. Opiat : Ramuan yang mengandung opium juga setiap obat yang menginduksi tidur
95. Overdosis : Memberikan dosis yang berlebih
96. Palpitasi : Perasaan berdebar-debar atau denyut jantung tidak teratur yang sifatnya subyektif
97. Paramedis : Orang yang bekerja di lingkungan kesehatan sebagai pembantu medis
98. Patofisiologic : Faal dari kelainan fungsi
99. Patofisiologic : Faal dari kelainan fungsi
100. Perifer : Berkenaan dengan bagian luar suatu organ atau tubuh
101. Peroral : Dilakukan lewat mulut
102. Plasma : Bagian cair darah dimana tersuspensi komponen-komponen berbentuk partikel
103. Preparat : Bahan yang disiapkan secara kimiawi
104. Proteolitik : Enzim yang mendorong proses proteolisis
105. Rash : Erupsi sementara pada kulit
106. Rasio : Perbandingan antara berbagai gejala yang dapat dinyatakan dengan angka
107. Reflek : Gerakan tidak disengaja yang disebabkan rangsangan pada saraf
108. Refraktor : Tidak mempan diobati
109. Regulasi : Pengaturan
110. Renin : Enzim proteolitik yang disintesis, disimpan, dan disekresi oleh sel jukstaglomerulus ginjal
111. Resep : Permintaan tertulis dari seorang dokter kepada apoteker untuk membuat obat bagi pasien
112. Reseptor : Ujung saraf yang peka terhadap ragsangan panca indra
113. Resistensi : Penyumbatan
114. Reversible : Mengalami serangkaian perubahan dua arah, ke depan dan ke belakang
115. Saraf : Jaringan yang mengatur kerjasama,menyalurkan rangsangan dari dan ke alat-alat tubuh
116. Simpatomimetik : Menghasilakan efek yang mirip dengan impuls yang ditransmisikan oleh serabut pasca ganglion adregenik dari sistem saraf simpatis
117. Serum : Bagian jernih setiap cairan yang dipisahkan dari unsur yang lebih padat
118. Sinergistik : Berkenaan dengan sinergi
119. Sindrom : Kelompok gejala yang terjadi bersama sehingga menghasilkan suatu pola komplek gejala yang menjadi ciri khas penyakit tertentu
120. Sinkop : Pingsan, hilangnya kesadaran sementara waktu
121. Sintesis : Paduan (campuran) berbagai hal,sehingga merupakan kesatuan yang selaras
122. Sirkulasi : Peredaran
123. Spironolakton : Bubuk kristal berwarna krim muda sampai coklat muda yang dipakai dalam pengobatan edema dan asites sirosis hepatis
124. Stenosis : Penyempitan orifisium aorta jantung atau aorta dekat katup
125. Stimulasi : Perangsangan
126. Suster : Juru rawat wanita
127. Tablet : Obat dalam bentuk padat
128. Takikardi : Frekuensi nadi cepat
129. Terapi : Perawatan penyakit
130. Triamterene : Bubuk kristal kuning tak berbau, yang meningkatkan sekresi natrium dan klorida tetapi tidak meningkatkan sekresi kalium
131. Transparan : Tembus pandang, jernih
132. Trigliserida : Senyawa yang terdiri dari tiga molekul asam lemak yang teresterifikasi menjadi gliserol
133. Trombositopenia : Menurunnya jumlah trombosit dalam sirkulasi darah
134. Urtikaria : Bercak yang agak menonjol pada kulit dan sering disertai dengan gatal yang hebat
135. Vasodilator : Saraf atau agen yang menyebabkan pelebaran pembuluh darah
136. Vasokonstriksi : Penyempitan lumen pembuluh darah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar